Selasa, 17 Maret 2009

Ujian Nasional dipandang dari Pendidikan & Kemanusiaan

Ujian Nasional (UN) untuk siswa SMP, SMA/SMK, dan MA tahun pelajaran 2008/2009 usai sudah. Hasilnya pun sudah diketahui publik. Ada yang senang, ada juga yang sedih. Fenomena ini terjadi berlangsung setiap tahun karena sudah menjadi rutinitas tahunan. Persoalannya sekarang, benarkah UN berdampak positif bagi peningkatan mutu pendidikan? Atau berdampak sebaliknya dilihat dari sisi kemanusiaan dan pendidikan ?


UN berdampak menurunkan harkat dan martabat manusia

  • Adanya Tim sukses UN yang dibentuk untuk mensukseskan UN di lingkungannya. Namun upaya yang dilakukan bukan hanya meningkatkan mutu siswa melainkan dengan berbagai upaya lain yang cenderung menurunkan martabat kemanusiaan.
  • Ditemukan pelanggaran oleh guru telah merendahkan martabat guru itu sendiri di mata siswa dan masyarakat.
  • Ditemukan keganjilan menjelang pengumuman, berupa adanya pertemuan antara dinas pendidikan propinsi yang bertanggung jawab mengurusi nilai dengan kepala-kepala sekolah.
  • Adanya pelanggaran perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN. Majelis Hakim (PN) Jakarta Pusat memenangkan gugatan kebijakan ujian nasional (UN). Dalam putusan itu majelis hakim menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara. Tak tanggung-tanggung putusan tersebut menyatakan bahwa presiden, wapres, mendiknas, serta ketua badan Standarisasi Pendidikan Nasional sekaju tergugat telah lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara, terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan oleh para siswa yang gagal menempuh UN.
  • Kondisi tersebut mebuktikan bahwa ternyata ada ketimpangan dan ketidakberesan pada proses UN yg selama ini berlangsung. Ketidakberesan UN justru dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya siswa menjadi korban. Tak hanya itu UN ternyata tidak menjadikan mutu pendidikan lebih baik. Bahkan UN telah menjadi “kepanikan nasional” yang berefek pada penurunan standar dan mutu lulusan.

Pendidikan yang memuliakan manusia untuk mengisi dimensi kemanusiaan melalui pengembangan panca daya tidak tercapai karena hanya dimensi tertentu dan daya tertentu saja yang dicapai yakni dimensi keindividualan dan daya cipta

  • Adanya kepanikan sekolah, yang berdampak muatan kurikulum tidak tercapai karena sekolah harus menyiapkan siswa menghadapi UN. Beberapa gejalanya: mata pelajaran yang tidak di-UN-kan dipercepat dan sisa jamnya dipakai untuk persiapan UN. Proses Pembelajaran pun praktis menjadi ruang bimbingan belajar/tes dengan soal latihan dan pembahasan serta try-out soal-soal UN.
  • Proses pembelajaran untuk mengisi kelima dimensi kemanusiaan melalui pengembangan panca daya praktis terabaikan. Sekolah fokus pada persiapan UN. Pembelajaran hanya menjadikan siswa penghafal kelas wahid. Sekolah terpasung dalam ruang hafalan-hafalan teori dan rumus, tidak ”membumi”, tidak ada upaya serius untuk membawa para siswa mampu menerjemahkan berbagai ranah keilmuan yang diperoleh ke dalam realitas sosial. Anak-anak digiring ke dalam ruang karantina untuk ”dicekoki” berbagai soal yang diperkirakan akan muncul dalam ujian. Mereka diperlakukan bagaikan ”keranjang sampah” yang harus menampung semua tumpahan hafalan teori dan rumus dari sang guru. Siswa semakin kehilangan sentuhan problem riil yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya saat-saat mendekati ujian nasional atau “buta” terhadap persoalan sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan yang mencuat di atas panggung realitas kehidupan.
  • Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari ”tekanan” kepala sekolah demi menjaga gengsi dan citra sekolah. Keberhasilan guru hanya diukur berdasarkan kemampuannya dalam mentransfer pengetahuan yang dimiliki kepada siswa didik dalam menghadapi ujian. Imbasnya, dunia persekolahan kita dinilai hanya mampu melahirkan output pendidikan berjiwa kerdil, tidak responsif, mau menang sendiri, keras kepala, dan kehilangan sifat-sifat kemanusiawian yang lain, juga membelenggu kreativitas dan kebebasan sehingga gagal melahirkan manusia-manusia yang cerdas, kritis, kreatif, terampil, jujur, berkarakter, demokratis, dan responsif.
  • UN selama ini masih diyakini oleh para guru sebagai tujuan dan sasaran akhir kelulusan siswa. Guru akan dianggap sukses dan bergengsi jika berhasil membawa siswanya menuju “terminal” akhir kelulusan dan akan divonis telah gagal menjalankan tugas apabila banyak siswanya yang “ndhongkrok” alias tidak lulus. Itulah sebabnya, banyak guru yang merasa “alergi” ketika ditawari untuk mengajar di kelas terakhir atau kelas III. Mereka merasa lebih nyaman dan tanpa beban jika mengajar di kelas I atau II. Sebaliknya, guru yang mengajar di kelas III sering kali harus “senam jantung” dan stres, terutama saat-saat mendekati ujian.
  • Untuk mempertahankan gengsi, guru di kelas terakhir sering kali menempuh berbagai cara agar siswanya bisa lulus dengan prestasi yang baik; entah dalam bentuk les, pemadatan materi, atau drill soal-soal. Semakin banyak “dicekoki” soal-soal UN tahun sebelumnya, siswa dianggap dalam kondisi “siap tempur” menghadapi UN. Tak ayal lagi, suasana pembelajaran semacam itu semakin jauh dari nilai-nilai edukatif dan makin kering dari sentuhan problem-problem sosial yang mestinya “dibumikan” dan diakrabkan dalam dunia peserta didik. Bahkan, praktik pendidikan semacam itu dinilai sangat bertentangan dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun karena akan menyebabkan terjadinya proses penyempitan kurikulum (curriculum contraction).
  • Salah satu penyebab tercerabutnya problem sosial dalam dunia persekolahan kita adalah kehadiran soal-soal UN dari tahun ke tahun yang antirealitas, (nyaris) tak pernah menyentuh persoalan-persoalan sosial yang mampu menantang dan menggugah siswa untuk berolah pikir dan berolah rasa. Mereka tidak pernah ditradisikan dan dibudayakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai persoalan sosial dan kebangsaan yang muncul secara riil di atas panggung kehidupan sosial. Generasi muda bangsa ini tampaknya sengaja “dimandulkan” dari karakter kreatif dan demokratis agar kelak menjadi generasi “robot” yang gampang dikendalikan oleh pihak penguasa. Bagaimana mungkin bisa menjadi generasi kreatif dan demokratis kalau mereka tidak pernah ditradisikan untuk berpikir terbuka, dialogis, dan kritis? Bagaimana mungkin anak-anak bangsa ini bisa berpikir terbuka, demokratis, dan kritis kalau UN hanya menampilkan soal-soal pilihan ganda yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan daya nalar dan daya kritisnya?
  • UN selama ini sepertinya hanya diperlakukan semacam upacara ritual tahunan –meminjam istilah Syamsir Alam (2005)– tanpa memberikan pengaruh berarti terhadap upaya pembinaan, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan pada tingkat sekolah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. Masukan berupa informasi pendidikan yang diperoleh lewat UN hanya diperlakukan sebagai barang pajangan dan menjadi dokumen mati. Selain itu, instrumen UN –soal-soal pilihan ganda, misalnya– yang digunakan pun sebenarnya masih menyimpan berbagai pertanyaan mendasar yang menuntut pembuktian, khususnya menyangkut metodologi, terutama pada saat melakukan interpretasi terhadap hasil skor tes dan pemanfaatannya agar sesuai dengan tujuan diselenggarakannya UN. Sudah benar-benar sahihkah instrumen UN tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya? Bisakah soal-soal pilihan ganda yang dinilai telah “mereduksi” makna kurikulum dijadikan sebagai satu-satunya instrumen untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses pendidikan yang sudah dilakukan?
  • Fakta menunjukkan, selama ini belum semua kompetensi siswa bisa terpotret melalui UN. Pada mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs, misalnya, salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa adalah mampu mendengarkan berbagai ragam wacana lisan untuk memahami gagasan, pandangan, dan perasaan orang lain secara lengkap dalam wacana yang berbentuk berita, wawancara, laporan, ceramah/khotbah, pidato, ceramah, pembacaan teks sambutan, dan dialog, serta mampu memberikan pendapat. Bagaimana mungkin kompetensi semacam itu bisa diukur secara sahih hanya melalui soal-soal pilihan ganda?

Keharusan

  • Kelulusan siswa ditentukan oleh seluruh mata pelajaran yang diajarkan sesuai dengan kurikulum. UN bukan penentu nasib siswa “lulus” atau “gagal”. Kelulusan menjadi bagian otonomi sekolah.
  • Untuk mengeliminasi dampak negatif UN, semestinya UN ditiadakan dan mengubah paradigma peningkatan mutu pendidikan melalui UN dengan paradigma baru yaitu peningkatan mutu pelayanan sekolah dalam rangka pengembangan potensi peserta didik karena pendidikan merupakan upaya memuliakan kemanusiaan manusia untuk mengisi dimensi kemanusiaan melalui pengembangan pancadaya secara optimal dalam rangka mewujudkan jati diri manusia sepenuhnya.
  • Pemerintah seharusnya menjadi pelindung hak-hak warganegara dalam pendidikan bukan justru sebaliknya melanggar hak-hak pendidikan.
  • Kalaupun UN tetap dipertahankan, maka dalam prakteknya tidak boleh mengorbankan peserta didik. Maka, perlu dipikirkan upaya serius untuk mewujudkan UN yang benar-benar mampu memotret kompetensi siswa sekaligus mampu menjadi pengendali mutu pendidikan secara nasional. Paling tidak, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu dilakukan agar UN benar-benar mampu menjadi “therapi kejut” dalam upaya memicu peningkatan mutu pendidikan.
    1. soal-soal UN harus mampu memotret kompetensi siswa secara utuh dan komprehensif.
    2. tindak tegas pihak-pihak tertentu yang nyata-nyata terbukti melakukan kecurangan dan pelanggaran terhadap pelaksanaan UN.
    3. harus ada sinergi antara UN dan praktik pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Diakui atau tidak, UN yang berlangsung selama ini telah menjadi penghambat serius bagi para guru yang ingin melibatkan siswa secara intens dan total dalam praktik
      pendidikan yang dialogis, terbuka, dinamis, menarik, dan menyenangkan melalui
      sajian materi yang menantang dan menggugah kesadaran mereka terhadap
      persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Namun,
      idealisme guru semacam itu terpaksa terbonsai akibat munculnya soal-soal UN yang
      sarat hafalan teori dan miskin daya nalar.
  • Memasukkan soal-soal esai dalam UN yang mampu membudayakan siswa berpikir secara cerdas dan kritis. Harus ada kemauan politik bagi pengambil kebijakan UN untuk melakukan hal ini sebab sudah kita ketahui apa keunggulan soal essay dibandingkan PG dalam membentuk pribadi siswa yang kritis dalam memecahkan problema-problema soasial, kemanusiaan, dan kebangsaan.

0 komentar:

Posting Komentar