Jumat, 23 Mei 2008

KONFORMITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH

ANALISIS KONFORMITAS DALAM PENDIDIKAN

Oleh:

Anan Zainal Arifin

(Guru dan Mahasiswa Sertifikasi Jalur Pendidikan Profesi PKn-UNP)

1. Konformitas adalah suatu esensial dalam kehidupan dan perkembangan manusia

Dalam hubungan sosial, konformitas sangat penting artinya sebab konformitas merupakan pengaruh sosial dalam bentuk penyamaan pendapat atau pola bertingkah laku seseorang terhadap orang lain yang mempengaruhinya. Jadi pengaruh sosial terhadap seseorang akan terjalin jika ada konformitas berupa penyamaan pendapat / pendirian atau persetujuan seseorang terhadap orang yang mempengaruhinya. Dalam kehidupan keluarga, seorang anak berkonformitas terhadap orangtuanya. Dalam kehidupan sekolah, peserta didik berkonformitas terhadap pendidiknya. Demikian juga dalam kehidupan masyarakat, konformitas akan mewarnai hubungan sosial dalam masyarakat.

Bentuk konformitas seseorang terhadap orang yang mempengaruhinya berbeda-beda bergantung pada siapa dan bagaimana proses pengaruh sosial itu dilakukan. Jika konformitas itu diwarnai sikap masa bodoh dalam arti meniru atau mengikuti apa yang menjadi kemauan orang lain tanpa pemahaman ataupun penghayatan, tanpa pertimbangan, pemikiran dan/atau perasaan), maka tercipta tipe konformitas “Membabi Buta”. Jika konformitas diwarnai dengan kharisma dari orang yang mempengaruhi sehingga seseorang yang dipengaruhi percaya, mengakui, menerima, tanpa rasa takut akan sanksi atas sikap non-konformitasnya, dan juga tanpa harapan akan imbalan atas sikap konformitasnya, maka tercipta tipe konformitas “Identifikasi”. Jika konformitas diwarnai sikap kebebasan untuk menentukan konformitas atau non-konformitas dengan didasarkan pertimbangan rasio, perasaan , pengalaman, hati nurasi, dan semangat untuk menentukan pilihan-pilihan dalam bersikap dan bertingkahlaku, maka akan tercipta tipe konformitas “Internalisasi”.

Tipe konformitas yang terakhir yang harus tercipta dalam setiap kehidupan baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun masyarakat, sehingga pengaruh sosial dari orang yang mempengaruhi akan diterima oleh orang yang dipengaruhi melalui proses internalisasi. Konformitas ini akan tercipta jika proses pengaruh sosial dilaksanakan sesuai konsep HMM (memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabat manusia). Dengan demikian situasi yang tercipta berupa proses pengaruh sosial yang dilandasi kewibawaan (hgh-touch) dan kewiyataan (high-tech). Konformitas ini perlu diciptakan dalam berbagai kehidupan manusia di keluarga, sekolah, dan masyarakat.

2. Konformitas merupakan suatu esensial dalam pendidikan

Dalam hubungan pendidikan, konformitas terjadi pada peserta didik sebagai hasil pengaruh dari pendidik. Peserta didik si satu pihak sebagai orang yang dipengaruhi dan di pendidik di pihak lain sebagai orang yang mempengaruhi. Dengan demikian, konformitas ini penting artinya dalam proses pendidikan karena peserta didik perlu berkonformitas terhadap pendidik yang mempengaruhinya. Pendidikan sangat berkepentingan agar peserta didik mau berkonformitas terhadap pendidiknya karena tanpa konformitas tidak mungkin akan terjadi proses pendidikan. Tipe-tipe konformitas apa yang terjadi pada peserta didik terhadap pendidiknya bergantung kepada pendidik itu sendiri dan proses pembelajaran. Apakah tipe konformitas “Membabi Buta”, konformitas “Identifikasi” atau konformitas “Internalisasi”?

Perbedaan ketiga tipe konformitas dapat kita lihat dalam tabel berikut.

Tipe Konformitas

Ciri-ciri

Primitif Membabi Buta

*Pendidik memposisikan diri sebagai penguasa yang memberikan sanksi, mengancam dan menghukum peserta apabila melanggar aturan atau tidak mengikuti kehendak guru.

*Memberikan imbalan / hadiah semata-mata untuk membina kepatuhan peserta didik

*Situasi pendidikan yang tercipta adalah situasi otoriter yang membentuk manusia dengan pribadi pasrah, patuh, penurut, dan takluk kepada penguasa (pendidik). Mengasingkan orang-orang yang kreatif, berpendirian dan mandiri

Karismatik Identifikasi

*Pendidik yang kharismatik memungkinkan tercipta suasana pendidikan yang diterima oleh peserta didik. Mereka senang, merasa diterima dan diayomi dan hubungan keduanya dapat makin dekat.

*Pendidik kharismatik menanamkan kebenaran, ilmu dan pengetahuan, dan lain sebagainya kepada peserta didik

* Situasi pendidikan yang tercipta membius peserta didik ke arah genggaman erat pendidik yang bisa menghambat kedirian dan kemandirian peserta didik.

Bebas Terinternalisasi

*Pendidik bersifat humanis-demokratik menekankan konformitas internalisasi bagi peserta didiknya.

*Pendidikan mendorong berkembangnya kemampuan yang ada pada diri peserta didik. Situasi pendidikan mendorong dan menyerahkan kesempatan pengembangan kedirian peserta didik kepada peserta didik sendiri. Pengembangan kebebasan disertai dengan pertimbangan rasional, perasaan, nilai dan sikap, ketrampilan dan pengalaman diri peserta didik.

3. Konformitas yang harus ditegakkan

Kalau kita bandingkan dari ketiga tipe konformitas dalam pendidikan di atas, penulis sangat berkeyakinan kalau tipe konformitas “internalisasi” inilah yang harus diciptakan/ ditegakkan dalam proses pendidikan mulai dari jenjang TK, jenjang pendidikan dasar (SD, SMP), hingga sekolah lanjutan (SMA/SMK).

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ketiga tipe konformitas tersebut semuanya bisa terjadi di dalam pendidikan kita. Penulis masih menemukan terjadi PENTIP dan KANDIK di dalam pendidikan yang mewarnai tipe konformitas “Membabi Buta”. Pemberian hukuman atau ancaman bagi yang tidak patuh, sebaliknya imbalan/hadiah bagi yang patuh. Peserta didik hanya dituntut kepatuhan atas kemauan pendidik/sekolah. Kreativitas anak menjadi hilang, kedirian dan kemandirian peserta didik tidak berkembang. Demikian juga konformitas “Identifikasi” cukup mewarnai pendidikan kita. Dibandingkan konformitas “Membabi Buta” tipe ini lebih baik, karena kekuasaan yang memaksa peserta didik diganti dengan kharisma yang dilandasi sikap mempercayai, menerima secara sukarela, tanpa rasa takut dikenai sanksi, juga rasa senang dan puas. Namun sosok pendidik yang kharisma ini dapat mengakibatkan kebergantungan peserta didik sehingga kedirian dan kemandiriannya kurang berkembang.

Apa pun alasannya, sekalipun tipe yang kedua lebih positif dibandingkan tipe yang pertama, namun arah pendidikan kita harus menuju kepada penegakkan konformitas “internalisasi”. Tipe ini tidak berpusat kepada pendidik seperti pada tipe pertama dan kedua (yang menarik siswa untuk menyerah kepada pendidik), melainkan berpusat pada kekuatan yang ada pada peserta didik sendiri. Peserta didik diberikan kesempatan pengembangan kedirian. Pengembangan kebebasan disertai pertimbangan rasional, perasaan, nilai dan sikap, ketrampilan dan pengalaman diri peserta didik. Pendidikan mendorong berkembangnya segenap kemampuan yang ada pada diri peserta didik. Inilah ciri tipe konformitas “internalisasi” yang mewarnai situasi pendidikan kita yang “seharusnya”, terbebas dari dominasi kekuasaan dan kharisma pendidik.

Konformitas ini harus dikembangkan karena “manusiawi” sesuai konsep HMM (pendidik memperlakukan peserta didik sesuai HMM yang melekat pada peserta didik), sehingga situasi pendidikan bercirikan kesatuan tiga dimensi dalam proses pembelajaran (hakekat manusia, dimensi kemanusiaan dan panca daya) serta didukung dua pilar kewibawaan dan kewiyataan. Kalau konsep HMM ini dilaksanakan maka konformitas yang mewarnai situasi pendidikan kita adalah konformitas “Intenalisasi”.

4. Gambaran pengembangan konformitas peserta didik di sekolah

Pengembangan konformitas peserta didik di sekolah masih diwarnai oleh tiga tipe konformitas (membabi buta, identifikasi, dan internalitas).

Konformitas “Membabi Buta” yang nampak antara lain:

a. Peraturan sekolah menuntut peserta didik untuk taat dan patuh. Jika melanggar dikenakan sanksi mulai sanksi ringan, skorsing, hingga dikeluarkan dari sekolah.

b. Peserta didik dituntut untuk rajin belajar, mengerjakan tugas-tugas, mengikuti tata tertib kelas, tidak menyontek, dan sebagainya yang apabila melanggarnya/tidak mengindahkannya siswa tersebut dianggap tidak patuh kepada aturan atau pendidik.

c. Untuk meningkatkan kepatuhan peserta didik, sekolah memberikan imbalan/hadiah misalnya kepada kelas yang yang paling bersih melalui perlombaan.

d. Untuk meningkatkan kepatuhan juga melakukan razia kendaraan sepeda motor, razia tas, rambut dan lainnya disertai sanksi.

e. Hadiah dan imbalan juga diberikan baik secara individu atau kelompok kepada siswa yang berprestasi.

f. Penanganan kasus peserta didik yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah dengan melakukan pemanggilan orang tua tanpa mempertimbangkan kepentingan peserta didik.

g. Panggilan orang tua juga untuk peserta didik yang terancam tidak naik kelas dan tidak lulus.

h. Melakukan penanganan persiapan Ujian Nasional kelas IX secara lebih intensif untuk mengejar peningkatan prestasi dan kelulusan.

Sekalipun konformitas “membabi buta” masih mewarnai, namun konformitas identifikasi cenderung juga dominan. Ciri-ciri yang mengarah kepada konformitas “Indentifikasi” antara lain:

a. Peserta didik cenderung percaya kalau pendidik di sekolah saya sebagai pendidik yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik dibandingkan pendidik di sekolah lain. Selain karena rekruitmen yang cukup ketat, juga sebagian besar guru menunjukkan prestasi (tingkat kota/propinsi/nasional). Ini berpengaruh menambah kepercayaan peserta didik kepada pendidik.

b. Kepercayaan peserta didik terhadap sekolah/pendidik yang mampu mencetak prestasi peserta didiknya (tingkat kota/propinsi/nasional) terutama di bidang akademik.

c. Peserta didik juga menunjukkan sikap mempercayai, menerima secara sukarela, juga rasa senang dan puas terhadap pendidik.

d. Kebergantungan peserta didik kepada pendidik cukup kuat karena banyaknya upaya peningkatan prestasi akademik dikaitkan dengan kenaikan dan kelulusan. Prestasi guru dalam meningkatkan prestasi peserta didik juga dikaitkan dengan upaya sekolah/yayasan memberikan bonus prestasi kepada guru. Keadaan seperti ini bagi peserta didik dapat menimbulkan sikap ketergantungan kepada pendidik terutama dalam peningkatan prestasi akademiknya.

Sekalipun konformitas “membabi buta” dan “identifikasi” mewarnai situasi pendidikan sekolah kami, namun konformitas internalisasi juga Nampak. Ciri-ciri yang mengarah kepada konformitas “Internalisasi” antara lain:

a. Kegiatan OSIS menjadi wadah peningkatkan kedirian dan kemandirian peserta didik. Peserta didik belajar berdemokrasi melalui pemilihan ketua OSIS, menyusun rencana kegiatan dan melaksanakannya secra mandiri.

b. Sekolah menyediakan kegiatan ekstra kurikuler yang cukup banyak dan bervariasi berhubungan dengan pengembangan potensi akademik, kesenian, dan olahraga. Peserta didik bebas untuk memilih sesuai bakat dan minatnya. Dari sini muncul siswa yang berprestasi sesuai dengan pilihannya.

c. Pembelajaran melalui strategi yang diterapkan pendidik dalam KBK atau KTSP seperti “cooperative learning”, CTL, inkuiri, problem solving dan lainnya lebih mengarah kepada peningkatan potensi peserta didik.

d. Pendidik juga sudah mulai menciptakan pembelajaran yang “humanis-demokratik yang banyak menekankan konformitas internalisasi bagi peserta didiknya.

5. Prospek pengembangan konformitas peserta didik di sekolah

Persepsi pendidik terhadap pendidikan menjadi salah satu kendala pengembangan konformitas di sekolah. Pendidik masih berbeda-beda pendapat dalam hal menyikapi dan memperlakukan peserta didik termasuk situasi pendidikan bagaimana yang semestinya tercipta.

Pada umumnya, pendidik masih beranggapan kalau untuk mencapai keberhasilan pendidikan, peserta didik harus mentaati peraturan tata tertib, menciptakan ketertiban kelas, rajin dalam belajar, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru, dan lain-lain. Peserta didik masih dianggap sebagai orang yang harus patuh mengikuti aturan. Hal ini nampak jelas dari sikap pendidik/sekolah terhadap peserta didik yang tidak patuh atau tidak mau berkonformitas.

Namun sekolah masih memiliki prospek pengembangan konformitas peserta didik karena masih memiliki faktor yang mendukung, antara lain:

a. Upaya pembinaan guru menjadi guru yang profesional sudah dilakukan secara perkala melalui kegiatan seminar, pelatihan, MGMP, dan terakhir ini sertifikasi guru melalui jalur portofolio dan pendidikan. Sedikit banyak akan berpengaruh terhadap profesionalisme pendidik untuk lebih meningkatkan kualitas serta pelayanan pendidikan.

b. Adanya kurikulum KBK dan KTSP yang berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik mengharuskan pendidik mengikuti paradigma baru sesuai tuntutan kurikulum.

c. Kesadaran guru merupakan tingkatan yang paling tinggi untuk memperbaiki situasi pendidikan menjadi situasi pendidikan yang diwarnai konformitas internalisasi. Lambat laun kesadaran ini akan muncul seiiring dengan tuntutan profesionalime pendidik.

d. Prospek pengembangan konformitas peserta didik dapat diciptakan melalui kegiatan-kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler yang cukup bervariasi mencakup pengembangan potensi akademik, kesenian, dan olahraga. Peserta didik dapat diberikan kebebasan untuk memilih sesuai bakat dan minatnya, sehingga mendukung pengembangan potensi dirinya (kedirian dan kemandirian peserta didik).

e. Dalam pembelajaran sebenarnya peserta didik bergantung kepada sikap dan perlakuan pendidik. Jika guru pengetahuan guru meningkat disertai kesadaran untuk memperlakukan peserta didik sesuai dengan konsep HMM dengan kesatuan trilogi pembelajaran yang didukung dua pilar kewibawaan dan kewiyataan, maka konformitas internalisasi akan muncul pada peserta didik.

f. Dalam pembelajaran, diupayakan agar pendidik lebih mengembangkan pembelajaran melalui strategi pembelajaran KBK atau KTSP seperti “cooperative learning”, CTL, inkuiri, problem solving dan lainnya lebih mengarah kepada peningkatan potensi peserta didik. Juga diupayakan agar pendidik menciptakan pembelajaran yang “humanis-demokratik yang banyak menekankan konformitas internalisasi bagi peserta didiknya.

Daftar Bacaan

Prayitno (2008), Dasar Teori dan Praktis Pendidikan, Padang: Universitas Negeri Padang.

0 komentar:

Posting Komentar